Pernahkah Anda menghitung berapa kali Anda memeriksa handphone Anda dalam sehari? Riset dari Nottingham Trent University menyembutkan rata-rata kita mengecek handphone 85x sehari. Sementara riset lain menyebut, rata-rata kita mengecek handphone kita 150x per hari. Semakin muda umur kita, semakin sering frekuensi kita mengecek handphone kita.

Menurunnya-Atensi-dan-Hilangnya-Ruang-Kreasi

Apakah ada yang salah dengan hal ini? Mari kita lakukan sedikit perhitungan.

Asumsikan kita tidur 8 jam sehari. Sisa waktu terjaga kita 16 jam. 16 jam ini setara dengan 960 menit. Dalam 960 menit, kita mengecek handphone kita 85-150x. Artinya kita mengecek handphone kita per 7 atau 12 menit!

Apakah ini masalah? Yap, tentu saja. Apa masalahnya?

Pertama, menurunnya produktivitas.

Bagaimana kita bisa produktif bila per 7 menit kita terdistraksi oleh handphone? Berbagai riset menyebutkan distraksi pada saat bekerja menurunkan produktivitas hingga 40% dan meningkatkan risiko kesalahan hingga 50%. Maka tak heran, pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan 30 menit bisa molor sampai 1 jam jika kita mengerjakannya sambil bolak-balik mengecek handphone.

Kedua, menurunnya rentang perhatian.

Rentang perhatian adalah kemampuan manusia untuk fokus pada satu hal saja. Saat rentang perhatian menurun, kita menjadi sulit mempertahankan fokus dalam mengerjakan satu aktivitas. Kita pun sekarang kehilangan kemampuan untuk hadir utuh di depan kawan bicara kita. Tubuh kita di depan mereka, namun pikiran kita melayang kemana-mana. Ribuat twit, postingan facebook, teks WhatsApp personal maupun grup, postingan grup Telegram, dan email merebut perhatian kita. Tak heran bila Satya Nadella, CEO Microsoft, mengatakan: “Komoditas langka yang sebenarnya di masa depan adalah ‘perhatian manusia’.”

Ketiga, hilangnya ruang untuk berkreasi.

Waktu dan kapasitas kita untuk melakukan kontemplasi dan kreasi kita semakin berkurang direbut oleh teknologi. Kita kehilangan rasa asik dalam membaca buku. Kita kehilangan makna dalam waktu sendiri dan sepi. Nicholas Carr, penulis buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains  mengatakan:

“If we lose those quiet spaces, or fill them up with ‘content,’ we will sacrifice something important not only in our selves but in our culture.”

Bukankah peradaban kita saat ini dibangun oleh orang-orang yang mau menyepi untuk berkontemplasi dan berkreasi?

Lalu, apa solusinya? Saya menawarkan tiga hal.

Pertama, batasi saluran komunikasi Anda. Jangan biarkan orang lain dapat menghubungi Anda dari berbagai saluran yang berbeda-beda.

Kedua, cek alat komunikasi Anda cukup 2-3x sehari (apapun itu, entah email, whatsapp, apapun). Menerima dan menjawab chat dapat menimbulkan adiksi (kecanduan). Setiap kali kita menjawab chat, otak akan melepaskan hormon dopamine sehingga kita merasa nyaman dan berteriak “lagi lagi lagi!” – Batasi, dan Anda akan terhindar dari hal ini.

Ketiga, terapkan “productivity hours” saat bekerja. Matikan semua notifikasi handphone dan komputer Anda. Fokus kerjakan pekerjaan Anda. Selingi dengan break 5 menit per 25 menit setelah Anda bekerja dengan fokus (teknik ini dikenal dengan istilah teknik Pomodoro, insyaallah saya akan bahas di artikel berikutnya).

Keempat, sisihkan “silence time.” Luangkan waktu untuk menyendiri, entah untuk membaca, menulis atau berpikir tanpa gangguan sedikitpun.

Atensi adalah sumberdaya yang sangat langka dan berharga. Ambil dan rebutlah, jangan biarkan teknologi merenggutnya dari diri Anda.

#coach Aji

www.sahabatpare.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *